By: Rinaldi Usman (Founder Skolari)
“What we are doing to the forests of the world is but a mirror reflection of what we are doing to ourselves and to one another.” Gandhi
PENGUASA VS PEMELIHARA ALAM
Pandemi ini tidak terjadi begitu saja sebagai sebuah keniscayaan. Ia terjadi sebagai dampak dari prilaku manusia yang selama berabad-abad menempatkan dirinya sebagai penguasa alam semesta. Penguasa yang selalu merasa mampu mengatur, mendapatkan,memiliki dan memakan apapun yang ia kehendaki. Tidak sadar kebutuhannya bergantung pada kelestarian alam semesta......udara, air dan tanah. Bayi yang lahir akan mati seketika tanpa adanya oksigen. Tiada kehidupan tanpa adanya air. Tanpa tanah manusia tak ada tempat berpijak. Namun pernahkah kita sebagai manusia memikirkan kebutuhan udara, air, tanah ? Egoisme adalah karakter manusia dalam hubungannya dengan alam semesta. Di sinilah sumber segala bencana termasuk wabah penyakit yang kita alami saat ini. Jika (sampai saat ini tak ada bantahan) memakan kelelawar adalah penyebab lahirnya virus COVID 19 ini, hal ini membuktikan betapa abainya manusia terhadap tanda-tanda alam semesta. Kelelawar hidup dan keluar sarang hanya pada malam hari ketika manusia tidur. Kelelawar hidup di gua-gua gelap yang tidak dapat dijangkau manusia. Kelelawar terbukti membawa infeksi berbahaya termasuk virus. Selain itu, penelitian juga menunjukan bahwa kelelawar juga menjadi induk bagi virus, seperti Ebola dan Nipah (National Geographic Indonesia 13 November 2018). Dengan demikian seharusnya kedua makhluk ini tidak dipertemukan dalam satu kesatuan waktu. Namun apa yang manusia perbuat ? Manusia tetap mencari yang bukan untuknya dikonsumsi. Eksplorasi terhadap sesuatu yang seharusnya tidak disentuh dan ditemukan. Semua terjadi karena kegagalan manusia untuk memahami dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam semesta beserta isinya. Sebagai bagian dari mekanisme alam seharusnya manusia menjadi pemelihara kehidupan alam bukan penguasa alam.
KEHIDUPAN TERBALIK ; KUDETA ALAM
Tidak pernah kita bayangkan seluruh tempat ibadah kosong tanpa jemaat. Tempat wisata ditutup untuk umum. Hotel tak berpenghuni. Pusat perbelanjaan tak dapat dikunjungi. Perkantoran sepi. Penerbangan dari dan ke dalam dan luar negeri ditunda. Event launching ditiadakan. Event olahraga dibatalkan. Kegiatan kampus dan sekolah dibekukan. Tiada manusia berlalu lalang di jalanan . Sebaliknya sempat terjadi hal yang amat menakjubkan di langit Jakarta, langit begitu cerah menampakkan awan bergulung-gulung. Pemandangan gunung Salak dan Gede nampak di kejauhan dari Tanah Abang. Di India untuk pertama kalinya muncul jenis kadal yang telah lama dianggap punah. Di Australia Kangguru berjalan santai di jalan raya. Domba berkeliaran di jalanan Inggis dan Turki. Dunia menjadi bersih tanpa polusi. Dunia terbalik ; manusia di kandang, hewan berkerumun di jalanan. Covid 19 menyadarkan kita bahwa selama ini ternyata kita yang menjadi “virus” buat mereka. Bahwa hewan dan alam semesta terganggu dengan kerumunan manusia. Padahal kerumunan adalah cara hidup, kebiasaan dan tujuan manusia. Nyaris manusia tidak dapat melakukan apapun tanpa kerumunan. Ibadah, berpergian, sekolah, olahraga dan liburan semua berjalan dalam format kerumunan. Kini kita diajarkan suatu prinsip terbalik “Berkerumun kita runtuh, berpisah kita utuh”. Covid 19 tak bisa dilawan. Dan untuk sesuatu yang tidak bisa dilawan kita harus beradaptasi . Pilihannya adalah “adapt or perish”.
“It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent; it is the one most adaptable to change.” — Charles Darwin
ADAPTASI DIRI
Hampir semua negara yang telah menerapkan lockdown perlahan tapi pasti merelaksasi aturan ditengah-tengah keadaan pandemi yang masih berlangsung dan vaksin antivirus belum ditemukan. Satu-satunya jalan untuk tetap hidup adalah dengan mengikuti protokol kesehatan ; menghindari kerumunan, masker, cuci tangan dan menjaga jarak dalam setiap suasana dan keadaan. Jika lalai maka kita akan menjadi makhluk yang paling berbahaya dan membahayakan orang lain. Kehidupan kita ke depan adalah kehidupan membatasi diri dan keinginan. Hidup berdampingan dengan “bahaya” yang selalu mengintai.
Sebagaimana kehidupan manusia purba zaman dahulu di tengah hutan, hidup kembali berdampingan dengan alam. Kita bukan lagi penguasa tapi kita bisa memilih untuk menjadi pemelihara alam semesta. Biasakan diri agar semesta tetap mendukung keberadaan kita.
Jakarta 160520